Padahal, Bantaeng adalah Butta Toa, kota tua. Desember 2014 nanti, Bantaeng akan berulang tahun ke-760. Bantaeng disebut-sebut kota paling tua di Sulawesi. Dulu, Bantaeng menjadi pusat pemerintahan/administrasi Belanda di Sulawesi. Banyak bukti foto lama yang memperlihatkan orang-orang Belanda berada di kota ini.
Meski pernah menjadi pusat pemerintahan Belanda, nama Bantaeng tak terdengar oleh publik, tidak seperti Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Pare Pare atau kabupaten lainnya. Namun, sejak 2008, nasib Bantaeng berubah drastis. Bantaeng kembali diperbincangkan setelah Nurdin Abdullah, seorang guru besar pertanian di Universitas Hasanuddin (Unhas), terpilih menjadi bupati 2008-2013.
Nurdin sebenarnya bukan orang asing di Bantaeng. Dia juga bukan orang biasa. Dia adalah cicit Raja Bantaeng. Orang-orang di sana memanggil Nurdin dengan 'Karaeng' yang berarti Raja. Nurdin yang sudah hidup berkecukupan dan nyaman, terketuk hatinya melihat Bantaeng tidak berkembang. Dia termotivasi membangun Bantaeng, salah satunya karena pesan kakeknya yang meminta ia turun tangan mengembalikan kejayaan 'Butto Tuo'. Meski berdarah biru, dalam keseharian memimpin Bantaeng, Nurdin bersikap seperti rakyat biasa.
Sebelum menjadi guru besar pertanian di Unhas, Nurdin berkuliah di Jepang selama beberapa tahun. Berkelana ke Jepang, membuat Nurdin memiliki jaringan yang luas dengan Jepang. Dan singkat kata, jaringan inilah yang salah satunya menjadi modal Nurdin untuk menyulap Bantaeng menjadi luar biasa.
Ingin membuktikan 'New Bantaeng', detikcom berkunjung ke kabupaten berpenduduk sekitar 200 ribu ini pada Senin-Rabu (8-10/9/2014). Setelah tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, perjalanan menuju Bantaeng ditempuh lewat darat. Perlu waktu sekitar 4 jam untuk menempuh jarak 120 KM dari Makassar-Bantaeng, karena sempat terjebak kemacetan jelang Makassar-Gowa. Bila lalu lintas bersahabat, perjalanan darat bisa ditempuh 3 jam.
Perjalanan via darat menuju Bantaeng harus melewati empat kabupaten/kota, yaitu Makassar-Gowa-Takalar-Jeneponto. Sepanjang perjalanan sekitar 120 KM itu, pemandangan kanan dan kiri tampak kering. Hamparan sawah yang kering tak ditanami, tanaman jagung yang mati, dan rumput-rumput yang tak hijau lagi. Di beberapa titik.